Kutu Busuk


“Kerjakan di luar. Selalu saja kau tak pernah mengerjakan tugasmu!” suara itu menggeragapkan gadis kecil bertubuh gempal, membuatnya tak tahu lagi harus bicara apa kepada seseorang yang disebut-sebut pengabdi negara itu. Ia takut. Ya, hanya rasa takut yang terus menggema dalam hatinya saat suara dan ekspresi wajah pengabdi negara itu menghujani kata-kata dengan iringan amarah.
Tak ingin mendengar cecaran amarah dari wanita berusia 40 tahun kurang itu, ia hanya menunduk bersama kawan-kawannya yang lain, yang tentu bernasib sama dengannya. Telinganya sudah kebal dengan ucapan yang muncul dari mulut pengabdi negara itu.
            “Memang apa saja yang kau kerjakan di rumah? Buku pelajaran pun tak pernah kau bawa, tapi tasmu selalu penuh” tambah wanita itu.
Si gadis bergeming sambil menatap rangkaian ubin kelasnya yang tampak bersih. Tak ingin berlama-lama memarahi tiga bocah yang membuatnya kesal, si pengabdi negara itu menyuruh mereka bergegas pergi dari kelasnya.
            “Kerjakan di luar sana! Jangan kembali sebelum selesai!” ucapnya lagi
Gadis kecil itu berjalan menunduk bersama beberapa kawannya. Mereka duduk mengerjakan tugas yang lupa tak mereka kerjakan sebelumnya.
Hei kutu! Jangan kesini, kerjakan sendiri saja, kau tak bisa membaca, pasti akan mencontek jawabanku” anak lelaki dengan rambut jarang mencoba membuat jarak dengan gadis kecil.
Entah apa yang membuat orang-orang begitu ingin marah ketika dekat dengan si gadis, jika di hitung hari itu saja, mungkin sudah lebih dari empat atau lima kali bahkan, ia dimarahi orang.
Pagi tadi, usai melakukan senam pagi yang dilakukan rutin oleh sekolah, ia datang terlambat dengan langkah cepat dan tubuhnya yang membungkuk karena tas punggungnya yang besar dengan isi banyak pula. Ia berjalan ringkih, tak selayaknya anak seusianya. Gara-gara  isi tas banyak yang membuatnya demikian. Mungkin.
“Kenapa baru datang?” ucap seseorang berseragam dinas.
Gadis itu hanya tersenyum sambil menjulurkan lidahnya. Malu. Lalu berjalan menyusul kawannya dalam barisan senam yang hampir selesai itu. Dalam barisan pun seakan ia tak diinginkan sama sekali oleh kawan-kawannya.
“Jangan dekat-dekat denganku, dasar bau!” bocah lelaki mendengus kesal pada si gadis. Ia lalu mundur dari bocah yang topinya tak pernah lepas dari kepalanya. Gadis kecil tak bergerak, ia hanya menatap kosong ke arah depan, jelas betul matanya menerawang pada suatu hal, mungkin. Tapi tak ada yang tahu apa yang ada dalam terawangan matanya yang tak begitu bening. Mungkin ia berpikir mengapa orang-orang mengatainya kutu dan berbau, apa karena dia hanya mandi sekali sehari, atau karena rambutnya yang jarang ia keramas sehingga mengundang kutu.
Dalam hati ia berpikir, mengapa orang jijik melihatnya berpenampilan demikian, sedangkan ia tak pernah mengambil hak orang lain dan bahkan marah seenaknya pada orang lain tanpa sebab. Ia selama ini hanya melakukan semua ucapan orang-orang. Apa itu salah? Ia terus menggerutu dalam hati. Tapi tetap saja semua orang hanya akan marah kepadanya.
Masih dengan menenteng tas punggungnya yang besar ia berjalan menuju kelas, dari penampilannya memang ia tak rapi, bahkan sangat tak rapi dibanding dengan kawan-kawannya yang lain, yang ketika ke sekolah diantar dengan motor bahkan mobil, lalu mencium tangan ibunda, di cium pula kening mereka dengan penuh kasih sayang. Ia tidak. Ia berjalan sendiri ke sekolah dengan jarak yang tak menentu, tak ada ibunda atau ayah yang mencium keningnya dengan kasih sayang, tak ada uang saku yang diberikan untuknya dari kedua orangtuanya. Atau dari kakaknya mungkin.
Lain lagi dengan kawannya yang baju seragamnya di seterika tampak licin dan necis, dengan rambut yang tertata rapi serta nyentrik khas anak-anak, tampak begitu lucu. Ia hanya berpenampilan sederhana dengan seragam putih yang warnanya lebih mengarah pada krem, dengan lipatan-lipatan tak teratur muncul di seragamnya, tak pula rambutnya rapi, hanya dibiarkan tergerai begitu saja rambut yang sebahu itu.
            “Hei, bau! Kamu ndak mandi lagi, ya?” bentak bocah perempuan, menggeragapkan dari kesibukannya menata isi tas.
            “Rambutnya saja berkutu, lihat tangannya juga kotor dan gatal begitu” sahut yang lain dengan ekspresi agak jijik melihat tangan si gadis.  
Ia menatap tangannya, lalu menyembunyikan dibawah meja sambil memandangi tangan kawannya yang tampak bersih. “Aku mandi” ucapnya singkat agak membentak.
“Kalau kamu mandi, kenapa tanganmu gatal-gatal gitu?
Ia teringat sesuatu lagi, memang benar ia mandi, pagi tadi baru saja ia mandi disebuah pemandian umum pasar tardisional. Ia pakai sabun yang tinggal sedikit dan mandi dengan cepat karena orang-orang sudah mengetuk pintu dari depan mengantri untuk mandi. Ia segerakan keluar dan menghampiri orangtuanya yang masih tidur pulas di badukan dekat tempat parkir. “Pak, sarapan, Pak” ucapnya menggoyang-goyangkan tubuh sang ayah.
“Emak belum beli, Nduk. Makan di sekolah saja” si ayah menjawab sekenanya tanpa menggubris gadis kecil itu. Si gadis menggaruk tengkuknya, merasa gatal, maklum saja rambutnya mungkin tak di keramas satu minggu lebih, tampak betul rambutnya lengket dan mudah terbelit satu sama lain.
Tiba-tiba, suara pengabdi negera menggeragapkannya dari terawangan kronologi saat ia mandi pagi tadi.
“Sudah dikerjakan tugas rumahnya?” ucap sang pengabdi negara mengawali dengan tagihan pekerjaan rumah.
Si gadis bergeming, ia tahu bahwa ia tak mengerjakan tugas rumah itu. Waktunya terlalu sempit untuk mengerjakan tugas, karena usai pulang sekolah, ibunya langsung menyuruhnya ini dan itu, membuat santan, menyaring air, membersihkan gelas dan piring yang menumpuk, sedangkan ayahnya pergi mencari penumpang sebagai tukang becak.
Ia letakkan tas besar miliknya lalu mengambil atasan dengan rok merah yang masih ia pakai. Rupanya isi tas itu besar bukan karena buku yang banyak, melainkan baju-bajunya yang dimasukkan semuatnya tanpa terlipat rapi. Itu karena ia jarang pulang ke rumah, ia biasa tidur di tempat emaknya menaruh gerobak, dan saat pagi datang ia tinggal mengambil baju dari tasnya. Itu sebabnya bahkan mandi pun ia tak bersih karena mandi di tempat umum.
Ia lepas sepatu dan kaus kakinya yang bolong diujung jempol, lalu diletakkan di bawah gerobak emaknya.
“Jangan kemana-mana dulu, bersihkan gelasnya” baru saja ia akan membuka bukunya, suara emak sudah membuatnya mengurungkan niat. Segera ia mengambil gelas yang berjajar tak teratur untuk dicuci. Dengan cepat tangan mungil itu menelusup tiap sudut gelas dengan busa sabun yang tak begitu banyak, hanya sekadar. Harum pun tak ada jika di bau. 
Belum habis semua gelas ia bersihkan, suara khas emaknya itu kembali melengking di telinganya. “Ti, ambilkan sirup!” dengan tangannya yang terbalut busa, ia berlari menuju rumah kecil, dan reot, yang bahkan tak layak jika dikatakan rumah. Bangunan kecil itu di abad ini mungkin lebih tepat di sebut kandang. Sungguh tak layak.
Kaki kecil itu melangkah cepat menuju dapur rumah dengan barang seadanya. Tangannya meraih toples sedang berisi air merah. Langkahnya kali ini tak lagi cepat, ia rangkul toples itu, ditempelkan betul di dadanya dan tangannya memeluk erat seakan tak ada seorang pun boleh mengambil darinya. Ia harus membawa toples itu pada emaknya yang sudah ditunggu pelanggan.
“Ini, Mak” ucapnya saat ia sampai pada warung kecil emaknya, lalu kembali membersihkan gelas yang masih beberapa tersisa.
Ditelungkupkan gelas yang telah bersih itu di sisi gerobak emaknya, lalu ia tidur bekas ditiduri ayahnya pagi tadi. Tangannya ia jadikan bantal dan matanya menatap langit yang agak mendung, tak ada sinar matahari yang menyengat matanya seperti hari biasa.
“Mak, kapan kita tidur di rumah?” ucapnya berbisik kepada emak.
“Tidur disini kan masih bisa, Nduk”  jawab si emak dengan memijat kakinya, tampak betul wanita berusia lebih dari lima puluh tahun itu lelah, bulatan-bulatan hitam menghiasi kakinya yang sudah berkerut itu.
“Aku ndak bisa belajar, Mak. Dimarahi terus sama bu guru” bocah itu menggerutu
“Yang penting sekolah, Nduk. Dimarahi juga kan bagus. Kamu ndak belajar kan biar bisa tetap sekolah, bantu Emak cari duit untuk sekolah dan makan, Nduk.”
Si gadis menghela napas, matanya masih menatap langit yang telah betul-betul gelap.
            “Mak” ia berucap namun terhenti.
            “Apa, Nduk? si emak masih memijit kaki mungil itu.
            “Mak pengen aku jadi apa?”
            “Guru, Nduk. Kalau kamu jadi guru, kamu bisa pinter dan kaya. Selain itu semua orang akan hormati kamu. Ndak akan di hina lagi, ndak akan ada yang memarahimu lagi”
Si gadis bangkit dari tidurnya, sambil menarik roknya yang melorot karena tak ada sabuk.
            “Mak. Apa guru harus selalu di hormati?” si gadis bertanya dengan polosnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tiba-tiba saja kalimat itu meluncur lancar dari mulutnya.
            “Tentu, nduk. Kan guru yang membuatmu pandai”
            “Bu guru hanya memarahiku, Mak”
            “Itu karena bu guru sayang sama kamu, nduk
            “Bukan karena aku berkutu dan berbau, Mak?”
            “Orang yang berkutu dan berbau itu orang yang memandang orang lain dari penampilan dan status sosialnya, Nduk
Kali ini si gadis mengambil segelas es di gerobak emaknya. Ia tuangkan sirup merah dalam gelas kecil dengan memasukkan potongan blewah. Ia seruput cepat karena terlalu haus, sebelum kemudian ia lanjutkan berdialog kembali dengan emaknya.
            “Mak” sambil menggelendot pada tubuh si emak, ia bermanja-manja pada emaknya, mumpung tak ada pelanggan.
Si emak merespon gelendotan gadis itu dengan membelai rambut putrinya yang kusut tak terawatt. Dipandangi lekat rambut itu, tampak di sela-sela rambut muncul binatang kecil.
            “Nduk, maafkan emak sebab tak bisa merawatmu” ucapnya pelan
            “Apa yang paling kamu inginkan saat ini, nduk?” si emak menambah
Gadis kecil itu menghentikan gelendotannya, dan menatap lekat si emak yang membawanya lahir ke dunia. Dengan cepat dan mantap ia menjawab
            “Aku ingin belajar, Mak”


  *HK

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Mencuri’ (Pesan) Raden Saleh Bersama Komplotan MRS

MANGKUJIWO: Suguhkan Thriller-Gore-Horror yang Nikmat