MEMESAN KEBAJIKAN PADA RAHWANA


Aku Bhumi. Ibuku memberikan nama itu padaku agar aku senantiasa berjalan pada ketulusan dan pengabdian. Kata ibu, Bhumi perlambang ketulusan dan keikhlasan. Sekali pun ia diinjak, diludahi, atau dijadikan penguburan sampah. Ia tetap menerima. Ibu menginginkan aku jadi orang macam itu. Sayangnya ketulusan tak pernah membuahkan hasil baik. Buah dari ketulusan dan kesetiaan pada pengabdianku mengantarkanku pada bilik dingin dengan kawalan jeruji besi. Menjadikanku seorang kriminal.
Ah, kalau saja waktu itu aku menuruti nafsu buat keselamatan dan kesejahteraanku, sudah ku naikkan haji ibuku yang tersayang itu. Sudah kubelikan rumah megah pula dan kupersembahkan menantu nan cantik dan menawan buatnya. Ibu akan duduk di singgasana kehormatan dan kemewahan diiringi puji-pujian banyak orang. Tapi tidak. Kenyataanya ibuku tinggal hanya bersama adik perempuanku, yang kini sedang banting tulang menggantikanku menjadi tulang punggung keluarga. Sedang ibuku hanya seorang tukang jahit yang menunggu pelanggan untuk membuatkan pakaian dari tangannya yang mulai keriput. Kalau saja ibu menyesali didikannya kepadaku, aku juga tak akan mengambil keputusan itu.
Sudah dua tahun aku mendekam dalam bilik dingin ini sebagai tahanan tanpa peradilan. Yang aku tahu mereka menyebutku kolot dan sok lurus. Seperti seorang anak yang dihukum karena perbuatan yang dianggap kurang baik di mata masyarakat. Tapi aku masih tak paham dengan hukuman yang dijatuhkan kepadaku.
Seperti biasa, setiap dua hari sekali ibu membesukku. Ia bawakan aku nasi jagung yang katanya makanan dewa dan para bathara. Sejak dulu ibu memang selalu memberikan nasi jagung dan singkong rebus buat keluarga. Kata ibu, singkong dan jagung adalah makanan dewa, juga biar aku dan seluruh keluarganya mendapat berkah dari dewa. Kali ini pula ibu memberikan keduanya: nasi jagung dan singkong rebus padaku.
“Jangan kebanyakan makan roti. Kau akan lupa bagaimana para dewa dan bathara menjaga tanah ini, Bhumi”
Aku tersenyum kemudian menunduk dan menatapnya. Ibu tak pernah berubah. Apalagi saat ini, bahkan saat aku kuliah, ia tak pernah membolehkanku makan roti atau makanan cepat saji lainnya selain dari singkong dan jagung.
“Biar memiliki hati layaknya dewa dan bathara, jangan makan roti yang dimakan para koloni,” begitu katanya. Itu sebabnya aku tak pernah makan roti beserta makanan yang bukan dari tanah negeri sendiri.
“Bhumi. Kau kurus dan kering macam ini,” kurasai betul tangan keriput ibuku membelai kedua pipiku yang makin lama makin tirus dimakan kesengsaraan. Matanya yang sayu telah membentuk danau kecil dengan air yang siap meluber kapan pun.
“Aku baik, Bu. Jangan khawatirkan aku,” Tentu saja ucapanku cuma buat menahan air dari mata ibu meluber. Sebab aku paling tak bisa melihat seseorang menangis, apalagi karena diri ini.
“Kalau saja ibu tak menyuruhmu tetap berjalan pada ketulusan dan kesetiaan, kau akan duduk dikursi yang kini telah diduduki kawanmu itu, Bhumi,” Ibuku mulai memutar kembali ingatannya pada kejadian paling mendebarkan dalam hidupku, setelah kehilangan ayah tentunya. Peristiwa yang membuatku memilih pada dua hal yang sama sekali berbeda. Kuncinya hanya soal kesetiaan atau penghianatan. Sederhana memang. Tapi buatku hidup tak sesederhana memilih dua hal yang sudah jelas konsekuensinya. Semua orang tentu akan memilih mana yang paling menguntungkan buat pribadinya, tapi aku, seperti yang diajarkan ibu selama ini, bahwa dalam hidup selain keberanian yang kita punya, adalah ketulusan dan kesetiaan pada hati. Aku melakukannya.
“Bu. Ibuku sayang, aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Yang membawaku pada tempat ini. Setidaknya tempat ini lebih baik daripada sebuah penyesalan atas penghianatan, Bu” Aku tenangkan ibu. Jelas betul wajahnya tak pernah bahagia dalam dua tahun terakhir ini, sejak aku dijatuhi hukuman berada dibilik dingin buat mempertahankan tanahku dan warga sekitar. Tanah dewa dan bathara.
“Seharusnya kau lebih berhati-hati dalam membuat keputusan, Bhumi. Kenapa sampai merusak alat mereka”
“Sudah, Bu. Jangan lagi diungkit soal itu. Aku tak pernah menyesal menghancurkan alat mereka. Toh mereka dengan seenaknya menghancurkan rumah dan tanah kita. Mereka itu cuma sampah yang berharap dipuji. Koloni berkulit coklat yang makan daging saudara sendiri”
“Hush! Jangan sembarangan bicara”
Ibuku cuma menatap. Matanya dalam menusukku. Ada kepedihan dalam hatinya yang muncul lewat sorotan mata. Ada harapan yang tak berhenti tumbuh ditengah keputusasaannya menunggu kebebasanku untuk kembali memeluknya.
“Bhumi, anakku,” Kali ini rambutku yang dibelaiannya, lalu keningku dikecup lembut. Terasa betul sayang itu. kau pernah mendengar kisah soal Rahwana?” Ibu menambah
“Itu pernah ibu ceritakan padaku saat kecil dulu”
“Kaulah Rahwana itu, Nak”
 Aku mengernyit.
“Rahwana menculik Shinta karena rasa cinta yang tulus dan kesetiaannya pada Shinta. Bahkan di kehidupan Shinta sebelumnya saat masih berwujud Batari Sri Widowati”
Aku paham apa yang ingin dikatakan ibu kepadaku. Ya, aku ingat betul perihal cerita tentang Rahwana yang menculik Shinta, karena ketulusan cinta dan kesetiaannya pada Shinta, hingga membawanya pada ajal dan selamanya ia dikenang sebagai raksasa jahat nan angkuh. Tapi ibu tak pernah bercerita soal kejahatan Rahwana. Ia kenalkan padaku sosok Rahwana yang mampu memimpin kerajaan Alengka dengan baik dan menyejahterakan rakyatnya. Seorang pemimpin yang gagah perkasa dan mengayomi rakyat, juga pemimpin yang bersedia mengakui kesalahannya karena menculik Shinta atas kesetiaannya. Ibu antusias bercerita soal Rahwana, dan aku diam–mendengar cerita ibu untuk kali kedua.
“Sebenarnya Rahwana telah mengetahui konsekuensi yang akan ia terima jika menculik Shinta. Ia tahu ketulusan dan kesetiaannya pada Shinta akan membawanya pada kematian. Bahkan akan membuatnya dikenang sebagai raksasa jahat yang menculik Shinta karena nafsu semata. Tapi ia tetap melakukannya”
“Lantas, Bu?” aku mengejar
Bibir ibu mulai membentuk lengkungan ke atas. Tersenyum. Mungkin senang karena aku antusias mendengar ceritanya. Ia kembali memegang pipiku, kali ini lebih kuat. Dan matanya, kembali mengeluarkan air. Sayang aku tak bisa menahan air itu keluar.
“Ibu tak pernah sebangga ini padamu, Bhumi. Ibu juga tak menyesal telah mengajarkanmu untuk berjalan pada kesetiaan dan ketulusan. Ya, memang benar bahwa dunia tak pernah berjalan berbanding lurus”
“Mengapa, Bu?”
“Sebab ia fana”
Aku tenang mendengar ucapan ibu. Beginilah, ia tak pernah marah padaku atas kesengsaraan dan kehinaan hidup. Selagi aku memilih bersetia pada ketulusan dan hati, ibu tak pernah marah.
“Bu, besuk saat ibu datang membesukku, boleh aku berpesan?”
“Apa yang ingin kau pesan?”
“Tetaplah sehat dan bahagia, sebab aku di sini bahagia, Bu”
Ibu kembali memegang kepalaku, membelai lembut lalu mengecup keningku untuk kali kedua. Ia kecup pula kedua pipiku kemudian bibirku. Seperti kucing yang menciumi anaknya yang baru lahir.
“Kalau kebahagiaan dapat dipesan, boleh ibu memesan juga?
“Apa itu, Bu?”
“Memesan kebajikan pada Rahwana. Belajarlah pada ketulusan dan kesetiaan Rahwana, anakku sayang”
Aku tersenyum. Dan bunyi bel yang dilantunkan, menandai berakhirnya pertemuanku dengan ibu. *)

*HK
Dimuat di Koran Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutu Busuk

‘Mencuri’ (Pesan) Raden Saleh Bersama Komplotan MRS

MANGKUJIWO: Suguhkan Thriller-Gore-Horror yang Nikmat