MANGKUJIWO: Suguhkan Thriller-Gore-Horror yang Nikmat



Judul              : Mangkujiwo

Produser        : Raam Punjabi

Penulis          : Dirmawan Hatta

Pemeran        : Sujiwo Tejo

Yasamin Jasem

Asmara Abigail

Roy Marten

Karina Suwandi

Djenar Maesa Ayu

Samuel Rizal

Septian Dwicahyo

Tanggal Rilis    : 30 Januari 2020



Film horror Indonesia terus diproduksi sineas berkarakter dan berkelas. Selain karena genre horror merupakan genre yang tak pernah punah di Indonesia, rupanya merupakan genre yang kualitasnya terus meningkat. Berbagai film horror telah tercipta dengan berbagai gaya, salah satunya Mangkujiwo, film yang menggaet aktor  sekelas Sujiwo Tejo, Djenar Maesa Ayu, Karina Suwandi, Roy Marten, Asmara Abigail, Yasamin Jasem, Septian Dwi Cahyo, dan Samuel Rizal. Kumpulan aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman seakan menjadi film dengan paket lengkap untuk komponen aktor.

Perasaan yang muncul pertama kali ketika saya akan menonton film ini seperti akan bertemu gebetan, agak deg-deg ser semacam ada rasa campur aduk. Saya bukan tipe penikmat film horror, kalau bukan karena komponen aktor di atas, mungkin saya tidak akan memberanikan diri untuk menonton. Terima kasih juga pada dua teman saya (Zhura dan Esti) yang sudah berkenan menhimpit saya di tengah dan jadi merasa aman.

Beberapa catatan sudah saya kumpulkan saat nonton film ini, beberapa scene saya sempat berkali-kali takjub karena penggarapan yang luar biasa epic.

Review ini memuat spoiler, jadi bagi yang tak suka spoiler, silakan tinggalkan tulisan ini, dan baca kembali saat sudah nonton.

Langsung saja saya bagikan kesan usai menonton film horror yang menyenangkan ini.


Setting Campuran

Film yang merupakan sempalan dari Kuntilanak Univers ini memang merupakan kisah asal-usul Kuntilanak. Maka, alur akan berkisah pada masa lalu dan masa kini (baca: 1970-an), dengan setting waktu yang demikian, membuat film ini menggunakan alur campuran. Tapi meski dengan alur campuran, penonton tetap dapat membedakan, karena terdapat berbedaan warna gambar sehingga peralihan setting waktu dapat dipahami.

Dalam beberapa adegan untuk peralihan setting juga mengambil metode alih frame melalui pintu, pemandangan sekitar, dan peralihan antar-dinding. Penggarapannya benar-benar pakem pada psikologi penonton. Awalnya saya mulai bosan dengan peralihan setting tempat yang selalu memperlihatkan pemandangan pegunungan sampai tiga kali, tetapi untungnya penggarapan ini memahami psikologi demikian, sehingga peralihan pada setting dengan pemandangan pegunungan dicukupkan hanya dengan tiga kali. Selebihnya menggunakan peralihan melalui pintu, dinding, dan narasi tokoh. Satu masalah yang saya khawatirkan terselesaikan.


Banyak Menyorot Kaca

Karena Kuntilanak identik dengan “Pengilon Kembar”, film ini mengambil teknik pengambilan gambar melalui refleksi kaca, sehingga rasa horror lebih terasa. Penonton akan diteror dengan kaca yang mungkin saja tiba-tiba muncul sesuatu yang mengagetkan. Selain pada refleksi kaca, pengambilan menyorot kaca tanpa refleksi juga sering dilakukan. Ini agak mengganggu karena terlalu banyak pengambilan yang menyorot kaca sehingga daya magis dari kaca berkurang.



Mimpi dalam Mimpi

Beberapa film menggunakan teknik “mimpi dalam mimpi” untuk meneror psikologi penonton, biasanya hanya terjadi dua kali, tetapi dalam Mangkujiwo hal itu terjadi tiga kali dan seakan terus meneror penonton. Mungkin saja teknik seperti ini sudah cukup banyak yang menggunakan tetapi yang paling sering hanya dua kali. Jika sampai tiga kali, saya hanya melihat dua film saja salah satunya dalam Mangkujiwo.



Kental Aroma Kejawen

Tidak salah jika sutradara (Azhar Kinoi Lubis) menggaet Sujiwo Tejo yang sangat mahir dalam tembang Jawa bahkan mantra-mantra kuno yang menjadi unsur penting dalam film ini. Beberapa tembang Jawa seperti Macapat sering digendingkan oleh Sujiwo Tejo lengkap dengan tarian dan ekspresi yang khas seniman. Sangat menyenangkan.



Aktor yang Mumpuni

Tidak diragukan lagi dengan jajaran aktor di atas yang menjadi harmoni hebat dalam film ini. Asmara Abigail yang luar biasa menghidupkan sosok Kanthi, Djenar Maesa dengan sejuta ketenangan mampu menghidupkan Nyai Kenanga dengan tepat, Sujiwo Tejo sangat menjiwai sosok Broto yang sangat kejawen, serta semua karakter yang juga turut mendukung menghidupkan karakter masing-masing. Dari jajaran aktor tersebut, saya justru ingin hormat dan mengucap kata “tabik” kepada Adek Yasamin Jasem yang sanggup menghidupkan sosok Uma yang misterius dan tersiksa sebagai “kunci” dalam film ini. Ia mampu dengan totalitas membawa kesakitan dan beberapa adegan mengerikan bagi Uma. Hanya saja pelafalan Jawanya yang masih kurang “njawani”. Selebihnya aku tabik padamu, Dek Yasamin.



Sinematografi yang Ciamik

Tak hanya telinga penonton yang dimanjakan dengan gendhing Jawa menyenangkan dan menenteramkan. Mata kita juga disuguhi gambar yang luar biasa indah. Sinematografi dalam film ini benar-benar diperhatikan. Pencahayaan, latar, gambar yang diambil, hingga perangkaianya sangat jelas ada kehati-hatian dalam penggarapannya. Keren.



Kekuatan Cerita

Film horror memang agak minus pada kedalaman cerita, begitu juga pada film Mangkujiwo. Terlalu fokus pada inti cerita sehingga seakan sedikit melupakan alur dan logika dalam cerita. Salah satu adegan yang membuat saya bertanya-tanya adalah di saat Uma (Yasamin Jasem) berada di rumah Nyai Kenanga (Djenar Maesa Ayu). Pertanyaan saya, dari mana Uma tahu rumah Nyai Kenanga, semantara ia baru sekali bertemu dengan Nyai Kenanga, itu pun tidak berbicara langsung. 

Kekuatan cerita juga bisa dibaca dari awal cerita, bahkan meskipun belum berada pada scene yang memberi clue sudah membuat penonton bisa membaca akan kearah mana jalan ceritanya. Penulis (Dirmawan Hatta) hanya bercerita tentang dendam perempuan yang dipupuk oleh orang-orang yang berkepentingan dan menjadikan perempuan ini sebagai korban. Ialah Kanthi (Asmara Abigail). Namun, karena ini film horror, maka saya tidak akan terlalu mempermasalahkan kedalaman cerita, meskipun memang cukup penting. Intinya penonton hanya dibuat mual dan jijik serta kaget dengan adegan yang penuh darah, tanpa dibiarkan merasakan “sakitnya” Kanthi sebagai korban dalam film itu. Tetapi penonton mendapat pemahaman baru dari tiap adegan yang berkaitan dengan kehidupan.



Adegan Kontras yang Semiotik

Salah satu scene yang membuat saya begitu menikmati adalah scene saat Uma dan Sadi (Septian Dwi Cahyo) menyerbu rumah Tjokro (Roy Marten) untuk balas dendam. Diawal dengan Brotoseno (Sujiwo Tejo) yang memainkan sejenis saxophone kemudian beralih ke adegan peyerbuan dan pertarungan sengit antara Uma-Sadi dan anak buah Tjokro. Adegan menyeramkan ini biasanya diiringi musik tegang, tetapi dalam film ini justru lagu yang menyenangkan turut mengiringi adegan yang penuh darah ini.

Kontras yang menyenangkan. Adegan ini menjadi adegan yang paling saya favoritkan dan sangat saya nikmati. Sampai saat ini pun masih terngiang lagu dan musiknya beserta adegannya.

Hal ini kemudian menjadi semiotik dalam film ini seakan adegan balas dendam Uma pada Tjokro sangat dinikmati oleh Brotoseno dan Nyai Kenanga. Sesuatu yang paling ditunggu-tunggu belasan tahun oleh keduanya untuk memberikan pelajaran bagi Tjokro.



Efek CGI yang Biasa

Bukan bermaksud memberikan nilai minus pada efek CGI dalam film ini, tetapi pada beberapa adegan, tampak jelas bahwa adegan itu merupakan buatan komputer, sehingga kesan ngilu dalam film terasa kurang. Kalau saja CGI digarap dengan tepat, film ini juga akan menjadi film yang menyakitkan. Penonton dibuat ikut merasakan ngilunya. Tetapi hal itu tidak terjadi.



 Akhirnya secara menyeluruh saya sangat menikmati film ini, juga menjadi film horror pertama yang saya tonton langsung di layar lebar (sebelumnya selalu di layar laptop. Cupunya saya). Bahkan saya ingin menontonnya lagi.

8,8/10 untuk film horror yang menyenangkan ini.


“Iblis terkuat berada di kuil termulia manusia. Kita tinggal memanggilnya”-Nyai Kenanga.

Tabik.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutu Busuk

‘Mencuri’ (Pesan) Raden Saleh Bersama Komplotan MRS