PUTAR BALIK TUJUAN PENDIDIKAN: KEBABLASAN ATAU KESASAR?
“Dalam hidup, kita cuma punya keberanian, kalau
keberanian tak punya, maka apa harga hidup kita ini?”
***
Setidaknya
kalimat itu yang membuat saya memberanikan diri untuk menulis–menuangkan apa
yang telah saya amati bertahunan, saya diskusikan berkali-kali, dan saya lihat
langsung bentuk dan modelnya. Sehingga muncullah beberapa pemikiran yang
mengharuskan saya untuk menuangkan dalam tulisan tak jelas ini. Ada
kekhawatiran yang terus menggentayangi saya, ada kebencian dan kemarahan yang
membayang. Maka dengan hantu-hantu menyebalkan itu, saya akhirnya mengumpulkan
referensi dari berbagai media, entah dunia maya, atau diskusi lainnya yang
membuat saya semakin berani untuk mengutarakan kegelisahan saya selama ini.
Perihal
pendidikan memang tak ada habisnya untuk dijadikan pembahasan. Saya sendiri
juga mengambil konsen di dunia pendidikan, baik itu kuliah maupun pekerjaan.
Barangkali saya dapat berdiskusi atau sekadar bertukar pikiran dengan
teman-teman pelajar yang pemikirannya masih idealis dan jujur. Tak ada
kepentingan sama sekali, maka tentu akan menjadi hal yang menyenangkan dalam
forum diskusi. Itu salah satu alasan mengapa saya menyukai dunia pendidikan.
Tetapi
ada yang terus mengganggu saya jika berbicara pendidikan, apalagi pendidikan
saat ini. Saya memang bukan praktisi pendidikan secara formal. Saya bukan guru
atau tenaga kependidikan, bahkan bukan pula pegawai yang berada di kedinasan
lembaga pendidikan pemerintah. Saya hanya peneman diskusi bagi teman-teman
pelajar untuk mengembangkan pemikiran dalam pembelajaran, kalau ada waktu lebih
bisa ke arah yang lebih luas, soal kehidupan dan kemanusiaan misal. Tapi tak
lebih banyak dibanding pembelajaran akademik–apa daya.
Saya
kembali mencoba memutar ulang pengertian pendidikan. Apa itu pendidikan, apa
tujuannya, bagaimana seharusnya, dan masih banyak lagi. Maka terlintas pula apa
yang diungkapkan oleh Umar Tirtarahardja dan La Sulo dalam bukunya Pengantar
Pendidikan (2005:1) bahwa sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan
bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi
kemanusiaannya. Inilah yang menjadi
benih kemungkinan untuk menjadi manusia.
Selain itu dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk perkembangan potensi
peserta didik agar
menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Membaca
kembali pengertian pendidikan di atas membuat saya merasa mengkhianati pendidikan,
saat melihat bagaimana bentuk pendidikan dan tujuan pendidikan saat ini yang
semata-mata semua hanya berfokus pada nilai–angka yang menjadi tujuan utama
dalam penilaian pintar atau tidaknya siswa, pantas atau tidaknya mengenyam
pendidikan di suatu lembaga pendidikan yang dikenal seluruh penjuru di
Indonesia. Ada sedikit bau kemarahan dalam diri saat melihat bagaimana rupa
pendidikan saat ini. Seperti tak ada lagi peradaban yang menyejukkan yang
memberikan identitas bahwa kemanusiaan itu melekat pada manusia. Meski saya
sendiri sadar bahwa saya dan kemanusiaan saya sedikit menjauh, namun tak sampai
asing. Semoga tidak.
Banyak
dari teman-teman pelajar, atau anak-anak saat ini hilang kesopanan, hilang
tentang adab–dengan dalih budaya kita adalah rantai patriarki yang harus
dihilangkan. Ya, patriarki memang bukan hal yang baik, tetapi jika rasa sungkan
dan segan hilang, maka kemanusiaan mungkin saja hilang pula. Belakangan ini
banyak saya melihat lembaga pendidikan menawarkan pembelajaran dan metode
pembelajaran yang mempersiapkan dan menjamin nilai siswa bagus. Semua hanya
tentang angka. Begitu pula orangtua yang berfokus pada masa depan siswa ada
dalam kertas bertuliskan angka, meski dalam kurikulum terbaru kita saat ini
selain angka, ada pula keterangan berkaitan dengan sikap dan keterampilan
berbentuk narasi indah.
Tidak
salah memang jika dalam teori, siswa mampu mengerjakan dengan baik. Saya jadi
teringat bagaimana beberapa siswa sekolah dasar mengerjakan soal berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari. Dalam pertanyaan itu ditanyakan bagaimana cara menjaga
kelestarian lingkungan, lantas ia menjawab dengan percaya diri dan penuh
keyakinan bahwa cara menjaga kelestarian lingkungan salah satunya adalah dengan
membuang sampah di tempat sampah. Benar sudah jawabannya. Itu teori,
praktiknya?
Saat
istirahat tiba, anak-anak makan jajanan, dibuang bungkus jajan itu sekenanya,
bukan di tempat sampah, meski tempat sampah terpampang jelas hanya dengan
beberapa langkah saja. Kakinya seperti enggan dilangkahkan, atau enggan
membuang waktu hanya untuk membuang sampah di tempat sampah. Demikian praktiknya.
Tetapi
mau tak mau guru hanya memasukkan penilaian dari apa yang dilihat terpampang dalam
soal, kalau pun guru memberikan pertimbangan bukan hanya dari teori tetapi juga
dari sikap, tetapi banyak orangtua merasa dicurangi apabila nilai rapor dengan
nilai hasil ulangan tertulisnya tidak sesuai. Orangtua lantas protes pada guru,
mengatakan bahwa nilai ulangan si anak tinggi tetapi nilai dalam rapor tidak. Hal
ini dilakukan tanpa mempertimbangkan tahu atau tidak tentang sikap si anak. Duh, lelah hatiku.
Seringkali
saya temui saat mengendari motor, tiba-tiba sebungkus–dua bungkus sampah
melompat keluar dari kaca jendela mobil yang mulus dan tampak mahal. Saya lantas
berpikir, sejak kapan jalanan menjadi tempat sampah? Tak ada tulisan “Tempat
Sampah” di jalanan selain marka jalan. Atau saya ketinggalan informasi bahwa
jalanan ternyata juga bisa menjadi tempat sampah super jumbo. Ini hanya contoh
kecil. Contoh lainnya saya yakin banyak dari kita tahu tentang hal-hal yang
berdampak lebih besar dengan kemanusiaan. Pendidikan tinggi tetapi akhlak,,, Ah sudahlah.
Beginilah
rupa pendidikan kita saat ini. Kita kehilangan kemanusiaan dan terlalu mengejar
ke-aku-an untuk diakui dalam lembaran kertas sebab kertas dan tulisan menjadi
salah satu berkas paling tepat menjadi bukti. Sama dengan ijazah dan nilai. Tidak
untuk sikap dan karakter.
Bukan
maksud saya menggurui, saya hanya mencoba mengingatkan diri sendiri, pun juga
pembaca yang budiman dan bijaksana. Bahwa pendidikan kita saat ini sedang tidak
baik-baik saja melebihi hubungan sepasang kekasih tanpa restu orangtua. Pendidikan
kita saat ini sedang di ujung tanduk kehilangan arah tujuan. Bukan hanya rasa
sayang terhadap gebetan yang menjauh, tetapi juga manusia dan kemanusiaan telah menjadi asing.
Semoga
kita sama-sama mengingat dan teringatkan kembali tentang pendidikan kita. Kemana
arah dan tujuannya, harus seperti apa pendidikan kita, atau apa yang seharusnya
kita lakukan sebagai manusia yang masih terstempel kemanusiaan. Tabik.
Josssss,
BalasHapusTerus berkarya,
Tabik 🙏
HapusYg kamu rasakan tidak sendirian,,
BalasHapusSemangat ya