Gangubai Kathiawadi, Tokoh Feminis dalam Dunia Gelap

 

Film dari beragam genre memang memberikan banyak pilihan bagi penonton, termasuk saya sendiri yang memang pecinta film dari berbagai genre (kecuali romance menye-menye). Saya harus berterima kasih kepada masternim saya—Sifah yang sudah merekomendasikan film yang luar biasa keren dan semakin memberikan saya keyakinan bahwa menjadi perempuan itu bukan soal stigma masyarakat, tetapi soal kualitas diri.

Sebuah film dari India yang jarang saya tonton akhirnya membuat saya tertarik menonton hanya dengan diberikan cuplikan premis utama film yang mengangkat tokoh ‘gelap’ di India itu. Ya, sebuah film biopic memang selalu menarik perhatian saya. Ia ada di tempatnya sendiri dalam hati saya. Kisah tokoh-tokoh nasional yang fenomenal memang selalu menarik untuk dilihat (bagi saya tentunya).

Adalah Gangubai Kathiawadi, sebuah film karya Sanjay Bhansali yang mengangkat kisah dari tokoh perempuan India dalam dunia gelapnya—Gangubai. Tokoh feminis yang memperjuangkan hak perempuan pekerja seks komersial, memperjuangkan pendidikan anak-anak pelacur di India, dan memperjuangkan kesetaraan profesi mereka dengan profesi lain. Premis yang menarik dan tokoh ini benar-benar ada.

Dibintangi Alia Bhatt sebagai Gangu, dan beberapa nama besar lain di India seperti Ajay Devgan hingga Vijay Raaz membuat film ini semakin menarik. Perlu saya akui sebelumnya saya tidak pernah menonton film India, dan Gangubai Kathiawadi menjadi film India pertama yang saya tonton sejak terakhir menonton film India saat masih di bangku sekolah, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tak perlu basa-basi lagi, berikut review dari saya yang sudah dua kali menonton film ini.

Sinopsis

Alur berawal dari seorang gadis yang terjebak di prostitusi dan menolak melayani pelanggan pertama, hingga akhirnya pemilik rumah bordil memanggil sosok Gangu yang telah menjadi tokoh besar di Kamathipura. Gangu kemudian mendatangi gadis berusia 14 tahun itu dengan menceritakan masa lalunya hingga ia bisa masuk ke dunia gelap prostitusi. Bersetting tahun 60-an, Gangu yang masih muda yang bernama asli Gangga dan hanya mengenal cinta yang tulus akhirnya terbujuk oleh kekasihnya—Ramnik yang memberikan iming-iming membawa ia ke Mumbay untuk menjadi bintang film.

Gangga akhirnya pergi ke Mumbay bersama Ramnik tanpa sepengetahuan orang tuanya. Gangga sebenarnya adalah putri dari seorang pengacara yang cukup terpandang di kotanya, tetapi karena ia bermimpi menjadi aktor film akhirnya membuat ia gelap mata apalagi dibujuk oleh kekasihnya yang sedari awal memiliki niat buruk. Ramnik akhirnya membawanya ke rumah bordil yang dikatakan kepada Gangga bahwa itu adalah rumah bibinya. Namun, saat Ramnik membawa Gangga di tempat itu, ia justru pergi meninggalkan Gangga sendirian dan terkunci selama berhari-hari di ruang yang sepi sampai ia mau menjadi seorang pelacur. Ya, Ramnik kekasihnya itu rupanya telah menjualnya seharga 1000 Rupee. (laki-laki memang seenaknya sendiri). Ramnik menjadikan kekasihnya itu menjadi kekasih bagi dunia, bagi semua lelaki di Mumbay.

Gangga akhirnya mengalami ‘kematian jati diri’ sama seperti proses perubahan karakter seseorang, saat ia telah mengalami puncak keputusasaan, ia akhirnya menerima takdir sebagai seorang kekasih bagi dunia—seorang pelacur. Saat keputusasaan itu muncul maka nama Gangga telah mati dan ia mengubah namanya menjadi Gangubai Kathiawadi. Dari gadis polos yang tulus, ia telah berubah menjadi perempuan tegar dan berkarakter kuat.  Gangu akhirnya menjadi nyonya di rumah bordil selama belasan tahun dan membuatnya bermimpi untuk memberikan kesetaraan hak bagi perempuan pekerja di rumah bordil serta mendapat perlindungan. Bagaimana hasilnya? Silakan ditonton langsung, tak akan menyesal apalagi bagi pecinta hal-hal yang bermuatan feminis.

 

Alur

Alur film biopic memang tidak jauh dari flashback atau alur campuran yang berfokus pada perjuangan sang tokoh, mulai dari nol hingga berbagai rintangan yang dilaluinya. Bhansali sebagai sutradara telah mengajak penonton untuk mengenal lebih dulu awal mula Gangu menjadi pelacur, ia mengajak penonton ikut merasakan kepedihan Gangu saat dikhianati oleh kekasihnya dengan dijual di rumah bordil seharga 1000 rupee. Perubahan karakter dari Gangga menjadi Gangu juga ditampakkan jelas oleh Bhansali hingga akhirnya alur kembali berfokus kepada perjuangan Gangu menyetarakan hak serta melindungi pekerja seks komersial lain di Kamathipura. Adegan ini mengingatkan saya dengan adegan saat Sanikem mematikan jati diri dan berubah nama menjadi Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, atau adegan Drupadi saat mengalami puncak keputusasaan ketika ditelanjangi Kurawa, dan akhirnya menjadi Drupadi yang berkarakter kuat serta mempertahankan harga diri sebagai perempuan melalui dendam. Adegan yang sama diperlihatkan oleh Bhansali dengan indah. Saat Gangga akhirnya menerima takdir menjadi pelacur, adegan tersebut telihat indah dipandang dan dirasakan.

Gangga yang telah siap berdiri di depan rumah bordil untuk menjajakan diri, ia hanya mematung dan kemudian diatur oleh pelacur lain dengan pose yang indah dan menggoda. Adegan ini salah satu adegan favorit saya sebab tampak indah melihat sorot mata Alia Bhatt yang menegaskan keputusasaan sebagai tanda bahwa ia telah menerima takdir barunya. Bhansali berhasil membuat adegan ini menjadi salah satu adegan ikonik di film ini.

Sepanjang film, alur hanya sekali flashback saat Gangu menceritakan awal mula ia menjadi pelacur. Alur kemudian berpindah menjadi alur maju yang berfokus pada perjuangannya untuk perempuan pelacur di Kamathipura.

Alur juga tidak berfokus pada kisah cinta Gangu meskipun ada adegan kisah asmaranya tetapi Bhansali memang bersetia pada premis utama yaitu perjuangan Gangu untuk kaum pelacur, maka Bhansali tidak memeras durasi untuk adegan kisah asmaranya. Bisa dikatakan cukup pas di film ini. Hanya saja bagian saat perubahan karakter dari Gangga ke Gangu terkesan sedikit cepat. Jika adegan ini lebih intens dan ditunjukan pelahan perubahan karakter seorang Gangu dengan memperlihatkan kesakitan Gangga yang harus menerima takdirnya, barangkali film ini akan berdurasi 3 jam, 30 menit lebih panjang dari durasi saat ini. Hanya masalah sedikit yang tidak terlalu menganggu—tak masalah.

Berbagai konflik yang dialami Gangu dari perubahan menjadi pelacur hingga berjuang menjadi penguasa Kamathipura yang mengharuskannya bersaing dengan Razia—pemimpin Kamathipura sebelumnya yang tidak setuju adanya prostitusi di Kamathipura. Gangu akhirnya bertekad mengikuti pemilihan umum menjadi pemimpin Kamathipura dengan melakukan berbagai macam cara bekerja sama dengan Rahim Lala seorang mafia muslim di India. Apapun ia lakukan demi melindungi 4000 pekerja seks komersial di Kamathipura serta memberikan pendidikan bagi anak-anak pelacur yang selama ini selalu didiskriminasi.

Selama memperjuangkan hak perempuan dan pendidikan anak-anak pelacur, Gangu telah banyak mengalami rasa sakit mulai dari disiksa pelanggan, hingga harus merelakan kekasihnya menikah dengan anak pelacur yang tidak menjadi pelacur. Ia melakukanya untuk melindungi keduanya, sebab ia tahu tidak ada orang yang rela memiliki menantu seorang pelacur. Itu muncul dalam kalimat demikian :

Ibunya memang pelacur, tetapi ia tidak. Ia gadis suci yang belum tersentuh. Menikahlah dengannya, sebab tidak ada orang tua yang menginginkan memiliki menantu seorang pelacur.

Kalimat itu benar-benar relevan dalam kehidupan kita. Masuk akal dan menjadi sebuah kemustahilan jika seorang pria menikahi pelacur. Bhansali benar-benar berhasil menggambarkan realitas hidup para pelacur yang selalu menerima ketidakadilan hingga mengorbankan kebahagiaan.

Bhansali juga menitipkan pesan dalam dialog Gangu bahwa apabila ada penangkapan pelacur bersama lelaki hidung belang, mengapa hanya pelacur yang dihukum, mengapa bukan germo hingga si lelaki hidung belang yang ikut menikmati pelacur itu. Masih banyak lagi hal-hal logis yang ada dalam kehidupan kita saat kita memandang pelacur sebagai sampah masyarakat tanpa tahu alasan di balik mereka menjadi pelacur.

Akting Aktor yang Memukau

Alia Bhatt memang tidak salah jika menjadi salah satu aktor termahal di India sebab aktingnya memang sangat memukau. Di film ini kemampuan aktingnya benar-benar diperas. Ia memainkan banyak perasaan, perubahan sorot mata, gesture, hingga warna suara yang tampak detail. Alia telah benar-benar menyatu dengan Gangu. Gadis polos yang hanya percaya pada mimpi dan cinta itu diperlihatkan Alia dengan baik, dan saat ia berubah menjadi perempuan berkarakter kuat pun dapat dimainkan oleh Alia dengan sangat baik. Kita bisa menikmati aktingnya bahkan sedikit banyak dapat memahami sosok Gangu itu.

Ajay Devgan pun memerankan raja mafia di Mumbay dengan hebat. Ia menjadi tokoh yang penting dalam proses perjuangan Gangu yang membuat Gangu mendapat panggilan sebagai Queen of Mumbay. Duet epic antara Devgan dan Alia dapat kita nikmati dan pahami seberapa dalam hubungan mereka yang tak hanya sebagai rekan bisnis, tetapi juga sebagai saudara angkat yang dipertemukan oleh takdir gelap.

Visualisasi yang Estetik dan Menarik

Film memiliki media utama audio dan visual yang menjadi pondasi utama dalam berinteraksi dengan penonton. Bhansali mampu memberikan visual yang tepat mulai dari setting, grading, hingga pemberian lagu yang menjadi khas film India, menjadi pas dan masuk akal. Setting lokasi yang memang jelas berlokasi di studio namun tampak pas dengan setting tahun 60-an dengan grading yang tidak mengganggu mata. Properti yang digunakan juga berhasil membawa penonton kembali ke masa 60-an. Selain itu, nyanyian dan koreografi tarian yang menjadi ciri khas film India dalam film ini juga cukup tepat. Ada motif yang tidak dipaksakan untuk diberikan lagu dan tariannya, sehingga tidak mengganggu dan tidak menghilangkan kesakralan film ini. 

Pesan yang Tepat Sasaran

Selain pada visualisasi, Bhansali yang juga bertindak sebagai penulis skenario yang memberikan kalimat-kalimat yang tak berhenti membuat penonton berdecak kagum apalagi saat Gangu berpidato di hadapan empat ratus orang. Ia berpidato tentang keadaan sesungguhnya soal prostitusi yang bagi orang-orang dianggap kotor tetapi juga menjadi hiburan bagi sebagian orang, yang bagi orang-orang dipandang rendah tetapi juga menjadi berarti bagi pihak yang lain.

Saya sangat menikmati pidato Gangu yang berbunyi demikian :

Saat kami tidak membedakan orang-orang, mengapa kalian mendiskriminasi kami? Kami berharga bagi orang-orang. Bagi politisi kami adalah suara mereka, bagi polisi kami adalah uang mereka, bagi pria kami adalah selimut mereka. Kami memuaskan nafsu pria dan menjaga integritas wanita. Itu sebabnya aku bangga menjadi pelacur sebagaimana kalian bangga menjadi dokter ataupun guru. Kalian ingin menjadikan kami tunawisma bahkan ingin membuang anak-anak kami dari sekolah. Bukankah anak-anak kami sama halnya dengan anak kalian yang menjadi masa depan India? Saat wanita adalah perwujudan kekayaan, kekuasaan, dan kecerdasan, apa yang membuat para pria merasa hebat?

Setidaknya begitulah sedikit cuplikan kalimat memukau yang disampaikan Gangu sepanjang film. Di akhir film, Gangu telah menjadi pemimpin Kamathipura yang dielu-elukan banyak orang dan bahkan bertemu menteri di New Dehli untuk meminta perlindungan dan legalisasi prostitusi, namun permohonan itu tidak bisa dikabulkan sebab melegalkan prostitusi dianggap membangun amoralitas bangsa. Maka, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah memberikan perlindungan terhadap pelacur di Kamathipura agar tidak digusur.

Akhirnya, menonton film Gangubai Kathiawadi membawa kita memahami kehidupan para pelacur. Saya juga langsung mengingat kalimat dari film Jamila dan sang presiden  bahwa tidak ada anak yang terlahir kotor. Tidak ada satu orang pun yang menginginkan menjadi pelacur, tetapi keadaan dan kehidupan yang telah memaksa mereka menjadi pelacur—menjadi kekasih bagi dunia, dan lagi-lagi selalu pelacur yang disalahkan.

Dari film ini kita belajar memahami sisi kemanusiaan dari pelacur. Kita seperti ditampar berkali-kali atas apa yang telah kita pikirkan soal pelacur. Kita telah ditelanjangi oleh Bhansali melalui film Gangubai Kathiawadi yang membeberkan realita yang ada di masyarakat. Sosok Gangu memang luar biasa, seorang pelacur yang berpikiran maju, berjuang dalam dunia gelap, memperjuangkan hak kesetaraan pelacur hingga pendidikan anak-anak para pelacur. Tentu saja sosok ini benar-benar ada. Seperti kata masternim saya, jika Kartini berjuang dalam terang, maka Gangubai berjuang dalam kegelapan. Keduanya sama-sama tokoh feminis yang patut dihormati.

Skor

Pada akhirnya dari apa yang telah saya bahas sejauh ini dengan panjang dan lebar meskipun belum semua terjabarkan, saya sangat menyukai film ini. Kita bisa memiliki banyak sudut pandang dalam tiap memandang sesuatu. Sebab tidak ada kebenaran yang disentuh manusia, semua hanya soal sudut pandang. Ya, dari visualisasi, cerita, penokohan, acting aktor, hingga pesan yang disampaikan, maka saya memberikan skor 9/10 untuk film Gangubai Kathiawadi. Tabik. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutu Busuk

‘Mencuri’ (Pesan) Raden Saleh Bersama Komplotan MRS

MANGKUJIWO: Suguhkan Thriller-Gore-Horror yang Nikmat