Perempuan dalam Bingkai Layar
Perfilman
Indonesia saat ini tengah mengalami kebangkitan yang luar biasa. Banyak
film-film karya anak bangsa yang mendapat penghargaan di festival film
Internasional di antaranya Seperti Dendam
Rindu Harus Dibayar Tuntas, Dear To Me, Laut Memanggilku, Penyalin Cahaya, Yuni,
dan Before, Now & Then (Nana). Dari
keenam film itu, tiga di antaranya adalah film yang fokus pada isu
keperempuanan.
Film Yuni karya Kamila Andini, yang dibuat
sejak 2016 mampu menyabet penghargaan bergengsi di BIFF (Busan Internatinal Film Festival) di 2021, menyabet Platform Prize
di Toronto International Film Festival 2021, menyabet piala citra kategori
Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2021, Best Actreess di Asian World Film
Festival 2021 dengan mendapatkan Snow Leopard, menyabet Silver Hanoman di
Jogja-Netpac Asian Film Festival 2021, dan masih banyak lagi penghargaan
lainnya.
Mengangkat
tentang posisi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat yang masih terkungkung
stigma dan budaya patriarki kuat, Kamila Andini seakan menyuarakan pendapat
lewat tokoh Yuni yang meski di tengah kungkungan budaya patriarki tetapi ia
tetap berani melawan untuk meraih impiannya. Keunikan film ini, Kamila Andini
tidak membuat film “Yuni” menjadi film motivasi seperti kebanyakan yang
terfokus pada bagaimana cara meraih mimpi, tetapi lebih pada bagaimana tokoh
Yuni melawan budaya yang mengekang ia sebagai perempuan.
Kamila Andini
menggunakan tanda seperti warna ungu yang dilekatkan pada Yuni di mana
perpaduan antara merah dan biru yakni perasaan berani dan penuh mimpi yang
akhirnya dapat membuat perlawanan. Warna ungu sendiri mewakili rasa percaya
diri dan kekuatan perempuan dibandingkan arti warna ungu yang dilekatkan dengan
warna janda.
Selain itu,
bentuk patriarki terhadap perempuan ditunjukkan Kamila sejak awal film dengan
menunjukkan adegan diskrimnasi terhadap perempuan melalui pengadaan tes
kehamilan bagi siswi SMA. Isu lain seperti isu yang mengatakan bahwa suara
adalah aurat, isu sosial dibangunnya pabrik-pabrik juga turut diangkat oleh
Kamila. Uniknya, film Yuni menggunakan bahasa Jaseng (Jawa-Serang) yang sengaja
dilakukan untuk menambah daya nyata dari film ini. Kebiasaan Kamila memang
selalu mengangkat bahasa-bahasa daerah di Indonesia sehingga sekaligus mengenalkan
bahasa daerah lebih luas.
Alur dibangun
dengan baik dimulai dengan isu bahwa perempuan tidak baik apabila menolak
lamaran laki-laki lebih dari dua kali. Ini terjadi pada Yuni yang dilamar dua
kali oleh lelaki yang berbeda dengan membawa harta dan kedudukan pekerjaan.
Sebuah isu yang sangat sering terjadi di masyarakat seakan perempuan tak bisa
memilih saat lelaki telah menyiapkan uang atau kedudukan. Bahwa bagi perempuan,
lelaki dengan limpahan harta dan kedudukan sudah cukup membuat perempuan melepaskan
mimpinya.
Selanjutnya adalah
bagaimana Kamila juga menampilkan ketidaktepatan pernikahan dini yang didasari
dari stigma jika sudah menjalin hubungan maka segera dinikahkan terlepas dari
siap atau tidaknya calon pengantin. Pernikahan dini pada akhirnya membawa
penderitaan bagi si perempuan karena harus merawat anak tanpa ada pemahaman dan
perhatian dari suami karena tingkat kedewasaan yang belum matang. Ada pun isu
pernikahan dini lain yang menikah di usia SMP tetapi karena Rahim perempuan
belum kuat maka tidak bisa terhindar dari keguguran dan pada akhirnya kesalahan
selalu dilimpahkan pada perempuan. Kamila Andini meramu dengan baik isu-isu ini
melalui tokoh-tokoh di sekitar Yuni seperti Suci dan teman-temannya yang
memiliki masalah tentang hubungan dengan laki-laki karena keperempuanannya
membuat Yuni akhirnya memiliki kekuatan untuk melawan.
Permasalahan
remaja dalam hal ini adalah siswa SMA yang selalu ditanya tentang masa depannya
dan tidak bisa menjawab maka tetap diarahkan ke pernikahan, atau selalu
diharuskan memiliki alasan setiap kali menolak dinikahkan, meski pada dasarnya
psikologi remaja usia belasan bahkan tidak semua memiliki tujuan. Mereka hanya
ingin menjalani apa yang ingin mereka lakukan atau melakukan hal dalam jangka
dekat tanpa harus memikirkan jangka panjangnya.
Tak hanya isu
kuat tentang perempuan, Kamila juga memberikan sentuhan sastra lewat
puisi-puisi Eyang Sapardi Djoko Damono yang dikemas apik mewakili setiap adegan
atau perasaan para tokoh. Termasuk pemilihan nama Yuni yang diambil dari puisi
“Hujan Bulan Juni” milik Eyang Sapardi.
Di akhir film,
Yuni akhirnya memilih untuk pergi dan
tidak menikah dengan gurunya yang telah melamarnya. Ditutup dengan berkumpulnya
teman-teman Yuni dan guru kesayangannya, mereka membuat malam di pantai menjadi
pesta para perempuan dengan menyanyikan lagu “Mimpi” milik Anggun C. Sasmi.
Dari awal
hingga akhir, Kamila tidak memberi jeda adegan yang tak perlu. Semua adegan
mengandung makna dan sangat padat sehingga semua pesan dapat tersampaikan dengan
baik dan membuka pemahaman baru terhadap pandangan masyarakat kepada perempuan.
Maka, pantaslah jika film Yuni mampu
membawa begitu banyak penghargaan bergengsi baik nasional maupun internasional.
Selanjutnya
adalah film Penyalin Cahaya yang disutradarai
oleh Wregas Bhanuteja yang mengangkat tema tentang kekerasan seksual. Berkisah tentang
Suryani atau akrab dipanggil Sur, seorang mahasiswi IT yang mengisi website
teater kampus. Suatu ketika ia mendapati dirinya mengalami keanehan pada sebab
saat ia usai pesta kemenangan ia mabuk berat dan saat terbangun ia mendapati
kabar beasiswanya akan ditarik karena sikap tidak baik. Sur mencari tahu dan akhirnya menyadari bahwa
dirinya telah mengalami kekerasan seksual. Melalui bantuan dari temannya, ia
berusaha mengumpulkan bukti untuk mencari tersangka yang telah melakukan
perbuatan itu padanya dan membuatnya menemui korban-korban lain dari tersangka
yang sama.
Film ini
banyak menggunakan semiotik di dalamnya, bahkan sejak awal pembukaan film ini
sudah memberikan ‘tanda’ untuk masuk ke inti tema. Hal ini terlihat di adegan
awal yang memberikan adegan pentas drama tentang kisah Medusa yang dihukum Dewi
Athena dan kemudian dipancung oleh Perseus. Kita tahu kisah Medusa adalah korban atas
cinta dari Poseidon yang mencintainya dan memaksanya berhubungan badan di kuil
Athena yang akhirnya membuat Medusa dihukum Athena atas kesalahan yang tak ia
lakukan karena ia melakukan atas paksaan dari Poseidon. Ia bahkan akhirnya
harus mati di tangan Perseus. Kisah Medusa memang mewakili kekerasan seksual
yang mendapat ketidakdilan. Wregas benar-benar telah memikirkan setiap adegan
yang memiliki benang merah satu sama lain dan memberikan banyak tanda di film
ini.
Selain adegan
Medusa, Wregas juga memberikan adegan fogging di awal hingga akhir film.
Fogging di sini mewakili kasus kekerasan seksual yang apabila kita sesuaikan
slogan fogging yakni “Menguras, Menutup, dan Mengubur” seperti kasus kekerasan
seksual yang terjadi yaitu menguras mental dan fisik korban, menutup
kebenarannya, dan mengubur fakta dan bukti agar tidak muncul di khalayak umum.
Adanya kepulan asap yang terjadi saat fogging dilakukan juga memberikan tanda
bahwa saat asap mengepul, maka pandangan kita menjadi buram dan terganggu. Sama
halnya dengan kasus kekerasan seksual yang selalu ditutup-tutupi dan dikaburkan
dengan berbagai cara.
Adegan akhir
dengan teatrikal yang dilakukan oleh tokoh Rama yang melakukan usaha
penghancuran bukti dengan berkedok fogging bersamaan dengan ia memakai kostum
Perseus bahkan membungkam ketiga korbannya yakni Sur, Tariq, dan Farah. Ini
menunjukkan adanya hubungan kisah Medusa di awal film dengan konflik utama.
Rama dalam hal ini berupaya membungkam para korbannya dan membakar satu-satunya
bukti yang paling kuat.
Sepanjang
film, Wregas mampu mengemas dengan apik alur dan unsur semiotic di dalamnya. Namun,
ending yang terkesan ‘patah hati’ atau bahkan memberikan unsur keputusasaan di
dalamnya menjadikan film ini tak mampu memberikan ending berkesan. Diakhiri dengan
Sur dan korban lainnya yang menggandakan bukti-bukti kecil menggunakan mesin
fotokopi dan disebarkan luas. Isu yang diangkat memang sejatinya sulit untuk memberikan
ending yang bahagia tentang keadilan bagi para korban. Bahkan korban cenderung
terpojok dan mau tidak mau harus bungkam karena pola pikir masyarakat yang
selalu menyalahkan perempuan setiap kali dihadapkan dengan kekerasan seksual.
Penulis terkesan
‘bingung’ memberikan ending yang tepat sebab memang pada kenyataannya
penyelesaian kasus kekerasan seksual selalu mental dan gagal bahkan selalu
berakhir damai hanya untuk melindungi nama baik dari instansi yang
bersangkutan. Barangkali karena penulis bukanlah perempuan sehingga kebingungan
itu juga muncul dan kurang memahami apa sesungguhnya yang paling diharapkan
perempuan korban kekerasan seksual untuk memberikan ketenangan atau sedikit
menghilangkan trauma.
Meski demikian,
secara menyeluruh Wregas mampu membuat film yang luar biasa dan mengantarkan Penyalin Cahaya meraih 12 piala citra di
FFI 2021 yang melahirkan rekor baru perfilman Indonesia sebagai film periah
piala citra terbanyak sepanjang sejarah. Tak hanya itu, Penyalin Cahaya juga telah di putar di Busan International Film
Festival di Korea Selatan. Bahkan saat ini sudah dapat disaksikan di Netflix
dan masuk top 10 Netflix Global. Selain itu film ini juga masuk di daftar Netflix
Top 10 di 26 negara. Brazil, Peru, Venezuela, Malaysia, Indonesia, Singapaura,
Filipina, Sri Lanka, Vietnam, Taiwan, Argentina, Jamaica, Ecuador, Paraguay,
Uruguay dan masih banyak lagi.
Terakhir, ada Before Now, &
Then (Nana) yang sukses membawa pulang The Silver Bear for Best Supporting
Performance yang sekaligus menorehkan sejarah dalam Berlin International Film
Festival sebagai film Indonesia pertama yang masuk kompetisi utama Berlinale. Kamila
Andini sekali lagi membuktikan kualitasnya sebagai sutradara perempuan yang
fokus pada isu-isu keperempuanan dan selalu berhasil membawa penghargaan atas
film-film karyanya.
Diadaptasi dari
Novel Ahda Imran berjudul “Jais Darga Namaku” yang mengangkat kisah dari tokoh
nyata bernama Raden Nana Sunani. Bersetting di Jawa Barat era 1960-an dengan
penggunaan bahasa Sunda seluruhnya. Menceritakan kisah perempuan bernama Nana
(Happy Salma) yang melarikan diri dari gerombolan orang yang ingin
menjadikannya istri dan membuatnya harus kehilangan ayah dan anaknya. Nana akhirnya
memutuskan menetap di Bandung dan menikah dengan laki-laki dari keluarga Menak.
Nana kemudian bertemu dan bersahabat dengan Ino (Laura Basuki), perempuan yang
menjadi simpanan suaminya yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.
Fokus film ini
lebih ke menyoroti kisah perempuan dalam perjuangan hidup dan mimpi di
Indonesia pada 1960-an yang juga mengangkat sejarah Indonesia di masa 60-an
dengan berbagai intrik politik yang mengikutinya.
Kisah tentang
perempuan di era 60-an versi Kamila Andini rupanya memberikan daya tarik bagi
penonton di Eropa. Film tersebut telah dijual ke ARP Selection (Prancis),
Trigon (Swiss), Spanyol (Filmin), Yunani (Cinobo), Italia (Movies Inspired),
Polandia (New Horizon), dan Ex-Yugoslavia (Film Europe). Film ini juga menarik
minat di kawasan Asia seperti Korea Selatan (M&M International), Taiwan
(Flash Forward), dan Hong Kong (Golden Scene).
Melihat tiga
film yang melenggang di kancah internasional memang bukan hal asing lagi. Banyak
film-film Indonesia yang mendapat penghargaan di kancah dunia. Namun, sisi
menariknya, ketiga film ini sama-sama mengangkat isu tentang keperempuanan
dengan berbagai permasalahannya. Dari sini kita dapat melihat bagaimana
perempuan selalu menjadi hal yang menarik tak hanya sisi keindahannya sebagai
manusia, tetapi juga sisi di dalamnya atau di bagian sudut-sudut lain yang
jarang didalami tetapi sering tersentuh. Tentang mimpi, budaya dan patriarki,
bahkan objek fetish seseorang karena keindahan perempuan.
Perempuan memang
selalu menarik dengan berbagai hal yang mengikutinya. Ia tak akan habis digali
seberapa dalam pun dilakukan. Setiap tahap galian selalu memberikan pesan yang
bisa memberikan kita pelajaran sebagai manusia.
Sinema atau
layar sebagai salah satu media komunikasi antarmanusia, antarperasaan, dan
antaride juga pikiran akhirnya menjadi media yang tepat dalam berkomunikasi
mewakili masalah-masalah yang dihadapi perempuan. Hal-hal yang tabu atau
dipendam oleh perempuan akhirnya dapat sedikit demi sedikit terbuka lewat layar
atau sinema. Bagaimana pun perempuan tetap indah dengan berbagai rupa dan
bentuknya, dan sinema tetap menawan dengan berbagai cara mengkreasikannya.
Tabik.
Komentar
Posting Komentar